hanya sebatas kata

silahkan pergi ke sudut hati,
ada Tuhan di sana

Rabu, 20 Juni 2012

KEMESRAAN PUISI DAN INGATAN (KHUDORI HUSNAN)



KEMESRAAN PUISI DAN INGATAN





Ingatan dan kenangan termasuk yang menjadi inti keprihatinan pemikir dan penyair. Para pemikir menjadikan ingatan sebagai pusat refleksi terkait kedudukannya sebagai sumber dan dasar pengetahuan sementara para penyair menjadikan kenangan sebagai penopang utama daya cipta.
Puisi Doa dari Chairil Anwar termasuk puisi awal bagaimana ingatan berperan sentral dalam penciptaan puisi:“//Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namamu/Biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh/cayaMu panas suci/tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/Tuhanku aku hilang bentuk remuk/Tuhanku aku mengembara di negeri asing/Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling//
Ingatan dalam puisi doa adalah jenis ingatan personal yang dapat menjelma menjadi ingatan kolektif. Pasalnya, hubungan pencipta dan ciptaan yang diperantarai oleh doa termasuk kesadaran dan laku personal yang bersifat umum. Puisi doa merekonstruksi ingatan seorang bernama Chairil Anwar yang terasing, kesepian, dan terus-menerus mendamba Tuhannya.  
Melalui ingatan, seseorang memiliki akses pada gambaran yang murni bersifat  individual dalam menafsir kenyataan. Akses tersebut bukan sesuatu yang dapat dengan mudah direngkuh tapi menyaratkan intensitas tingkat tinggi sebagaimana Chairil bilang “Biar susah sungguh.”
Gambaran atau citra-citra dapat dimobilisasi dengan cara berpaling dari kehidupan sosial aktif, yang hanya memberi akses pada apa yang disebut filosof Henry Bergson sebagai memori-habit, menuju laku yang lebih meditatif. Ingatan dalam laku meditatif bertujuan menghadirkan “ingatan sejati,” yang berdiri mengatasi sejarah. Ingatan yang sejati steril dari segala diskursus tentang situasi sosial dan ekonomi.
Rumusan  ingatan seperti ini, misalnya oleh Walter Benjamin, filosof dan kritikus sastra dari Jerman, dianggap semata sebagai ingatan “sesudah-citra”, yang diterima setelah seseorang menutup kedua matanya bagi “abad buta dalam industrialisme.” Ingatan meditatif membuang muka dari  sesuatu yang membikin seseorang tak nyaman. Praktik ingatan meditatif, dalam amatan para teoritikus kritis, serupa tindakan mengingat dengan melupakan. Maksudnya, saat mengingat dalam arti meditatif tersebut seseorang sebetulnya secara serentak melupakan hal lain yang tak ingin  diingatnya.
Ingatan; antara desain sadar dan spontan.
Pengalaman seseorang dalam bersentuhan dengan realitas modern yang di antaranya bertumpu pada pemahaman business as usual (bisnis sebagai kelaziman), memaknai segala interaksi sosial mululu dari kacamata perburuan laba, mengubah pula pemahaman tentang ingatan dan pengalaman itu sendiri.
Ingatan terpilah ke dalam dua hal; ingatan spontan dan ingatan berdasar desain sadar. Pembedaan tentang ingatan berpengaruh pada adanya dua jenis pengalaman: pengalaman yang melibatkan laku penghayatan dan pengalaman sekadar pengalaman, yang dialami atau dilakukan dalam menjalani keseharian.
Business as usual pun dianggap bertanggung jawab atas pemutarbalikkan pemahaman tentang ingatan dan pengalaman. Atas pemutarbalikkan tersebut terdapat beberapa posisi dalam memahamai pengalaman; satu posisi berpandangan pengalaman yang dihayati sebagai pengalaman yang otentik sebaliknya pendapat lain beranggapan bahwa pengalaman keseharianlah yang sejati. Pun halnya dengan ingatan; beberapa kalangan menganggap ingatan spontan dianggap tak bernilai, tak otentik, dan gadungan sedang kalangan lain menganggap ingatan spontan adalah kesejatian itu sendiri.
Bukan maksud tulisan ini mengurai kecanggihan argumentasi di balik pro dan kontra tentang ingatan dan pengalaman tersebut. Tulisan ini hanya akan mengambil posisi aman-aman saja yakni bahwa kedua pandangan pro dan kontra tentang ingatan tersebut sebetulnya dapat bersanding secara mesra dan harmonis.
 Mengingat = menyelamatkan
Saya akan menunjuk pada puisi-puisi yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi Wirid Angin, (Majelis Sastra Bandung, 2012) sebagai pusat refleksi saya. Puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi  secara mengesankan menempatkan kenangan sebagai nada dasar puisi-puisi dari para penyairnya seperti dari Khairunnisa Mawar Biduri, puisi “Ulang”; Muhammad Ramyan Fauzan, “Jangan Selingkuh Sayang!”; Muhammad Budi, puisi “Ingat Kematianku”; Ratna M. Iwan, puisi “Penantian yang Menubuh”; Rezky Darojattus Sholihin, puisi “Alamat Akhir Pertemuan” Rr. Metta P., puisi “Senja Penantian”; Trisna Iryansyah, puisi Dalam Jarak dan puisi “Dari Rumah Kepada Tuan.”
Sampul buku Wirid Angin (sumber gambar:berduri tajam.wordpress.com)
Topik ingatan dalam puisi-puisi dalam Wirid Angin tampaknya menjadikan puisi Doadari Chairil dan puisi Terkenang Topeng Cirebon dari Ajip Rosidi (puisi yang kemungkinan besar ditulis saat Ajip di Seoul, Korea Selatan) sebagai gambaran-asalinya. Penggalan dari puisi Ajip sendiri ialah sebagai berikut:
//Waktu menonton topeng Cirebon di Istana Musimpanas/Aku terkenang betapa indah topeng Cirebon dari Kalianyar!/Dan waktu kusimakkan musik Tang-ak/Tubuhku tersandar/lemas/Betapa indah gamelan Bali dan degung Sunda.Bagaikan terdengar! Kian jauh aku pergi, kian banyak yang kulihat/Kian tinggi kuhargai milik sendiri yang tersia-sia tak dirawat//
Penjelasan untuk puisi Ajip tersua pada puisi Trisna Iryansyah Dalam Jarak (dalamWirid Angin): //dalam jarak/kenangan menjelma kampung halaman yang hilang/aku tak menemukan jejak-jejak kepergiannya/hingga jalan menjadi samar/udara menjadi kosong tak berpenghuni/sementara aku rindu untuk kembali pulang//  pada puisi lainnya, puisi Dari Rumah Kepada Tuan, Trisna juga menulis //dari rahim waktu beranak pinak kenangan/yang satu dan lain saling melintang //
Puisi-puisi di atas, baik dari Ajip maupun dari Trisna, berbicara tentang jarak dan kenangan. Puisi-puisi tersebut mengisyaratkan bahwa semakin jauh jarak, kenangan akan sesuatu kian meluap dan mendekati “kebenaran” akan sesuatu yang dikenang tersebut: Topeng Cirebon, degung Sunda, dan gamelan Bali. Ketiga tradisi dirasakan Ajip lebih indah (sekaligus lebih menyedihkan karena tak dirawat) disaksikan dari kejauhan daripada disaksikan langsung di komunitas akarnya (Cirebon, Sunda, Bali).
Jika dikembalikan pada diskusi tentang dua macam ingatan di atas, di mana posisi saya ialah bahwa antara ingatan spontan dan ingatan berdasar desain sadar bisa bermesraan, maka ingatan spontan bersintesis dengan ingatan desain sadar. Saat di Istana Musimpanas, Ajip secara spontan teringat dengan akar-akar tradisinya (“topeng Cirebon,” “degung Sunda,” dan “gamelan Bali”).
Ingatan Ajip adalah perpaduan antara ingatan spontan dan ingatan desain sadar karena dalam mengingat Ajip sekaligus mengingat nasib empirik ketiga tradisi tersebut yang tak terpelihara baik. Dari perpaduan dua jenis ingatan ini Ajip pun menemukan, menyitir puisi Trisna, “kampung halaman yang hilang.”
Perpaduan antara ingatan spontan dan desain sadar mengakibatkan ingatan tak semata ingatan hampa sebaliknya ia memikul dimensi penyelamatan. Puisi, dengan kenangan/ingatan di dalamnya, menjelma  serupa monumen megah di tengah-tengah kota yang menunjuk pada suatu peristiwa historis tertentu di masa lampau. Ia diperuntukkan bagi laku per-ingat-an publik yang sekaligus mengantisipasi pelupaan kolosal yang dilakukan oleh tirani. 

Catatan:
Tulisan ini adalah versi lengkap dari sebuah tulisan yang saya (Khudori Husnan) paparkan dalam program ulasan buku di Sastra   Reboan Warung Apresiasi Bulungan Jakarta Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar