hanya sebatas kata

silahkan pergi ke sudut hati,
ada Tuhan di sana

Rabu, 20 April 2011

Kartini Menangis

menghela di tepi malam, menaburkan kesunyian, pada gerimis yang tak kunjung padam seperti sedihnya Kartini pada Ibu Pertiwi, berteriak pada masa semesta, tentang tangisnya yang semakin membara, tentang kesedihan sebuah negeri, nafas tinggal setepi, menunggu mati.

Kamis, 14 April 2011

HuuUUuuuFthhhH....

15 April 2011... Hari Ulang Tahun Bu Viss...:)

dengar yang lilin katakan pada temaram
di lelap malam yang hangatkan nadi kata

‘selamat ulang tahun Ibu, semoga ikhlas’
menjadi sebuah sajak yang mengejakan makna
di tiap detik, tik tik, jam berdetik,
dan jantung masih berdetak berdenyut

saat nyenyat ditemani senyum dalam langkah
memapah kami tanpa lelah, alhamdulillah
semoga berkah selalu ada dari ilmu yang diberikanmu

kami mendoakan yang terbaik dan terindah
bagimu Surga lah jawabannya. Amin.

Rabu, 13 April 2011

Ayah

untuk Ayah:
 
tangan mengepal ketika melawan punggung gunung
di kaki langit menyibak tabir untuk tiga anakmu yang lugu
dalam sabar tak malu terkucil dunia di sudut desa
layak jadi pria penuh cerita dan liku penuh haru

entah kubisa berpangku pada siapa suatu hari
sedang cerita hati kukulum sendiri saat ini
padahal kutahu pasti kau lebih mengerti cinta
seperti sayangnya ibu kepada ketiga anakmu

ingat sewaktu kecil, ketika ku dibentak bentak
dimarahi dengan pongahnya mataku memerah
berteriak sesukanya, tak setuju tak mengangguk
dan serasa sakit, hati terkikis diceramahi

darah dan daging menyatu bersama air mata
saat kusadari kelak engkau takkan ada lagi
menaburi keindahan gubuk yang disulam
dari jerami berpeluh kasih untuk keluarga

kini, kusadar..
berkata ‘ah’ saja adalah dosa.

Sabtu, 09 April 2011

Tak Berkenan

kutakkan menggenggamu terlalu erat, apalagi hati yang nanti buatmu ngilu. walau kau pernah berkata hatiku ada dalam ruang hatimu. tapi kutakut menyayatmu dengan hilang, ada ragu dalam benakmu, menuju sesuatu berwujud tak berkenan, kalau mau pergi lakukan dari sekarang, katakan tanpa metafor, ucapkan tanpa tangisan.

Selasa, 05 April 2011

Dewa Dewi


Setiap pagi Dewi mengucap pada Dewa ‘Aku siap melangkah hari ini hei laki-laki, :) bersama senyum yang selalu ia tandai di akhir kata. Aku siap  karena aku sudah duduk di depan meja ruang kantorku, siap bercumbu dengan monitor untuk mendesign sebuah karya nyata yang melukiskan bahwa kehidupanku ada di sana, kadang jenuh mendera, tapi hidup adalah langkah pastinya, harus menikmati dan tersenyum pada hidup itu sendiri’

Setiap pagi Dewa mengucap pada Dewi ‘Engkau adalah sebuah maha karya Tuhan, yang sengaja diciptakan untuk menuliskan cerita kehidupan yang nyata dalam langkah di tiap harimu, beserta doa dalam lelahmu, kau hebat perempuan, aku banyak belajar darimu, setulus kasih sayang ibu, bahkan aku saja tak bisa melukiskan keluguanku dalam hidupku sendiri’

Setiap pagi hampir setiap pagi terucap kata-kata itu. Dewa sebisa mungkin memerhatikan tiap tetes lelah yang terpacak dalam keluh kesah Dewi. Mencoba melukiskan menuliskannya sedalam hati, walau tak seindah lukisan karya design Dewi di ruang kantornya.

Setiap malam, Dewa mencoba menuliskan lagi kisah hidup sang Dewi, dalam coretan di atas kertas. Bentuk kertas itu memang tak indah, apalagi isinya sangat jauh menjulang bila dibanding keindahan Dewi. Karena sangat wajar memang, karena kertas itu diambil dari tumpukan buku yang sudah lapuk berdebu, semakin hari semakin tak ada arti.

Kertas itu kembali diambil, dan terlihat warna yang mulai tak jelas. Dibilang masih putih jelas sekali kertas itu penuh dengan debu. Dibilang sudah usang jelas kertas itu belum terpakai. Debu bersatu dengan kertas putih, jadilah sebuah warna kertas yang tak jelas. Jika diibaratkan warna, tak hitam tak putih, lebih mendekati abu-abu.

Tak bisa lagi dibersihkan seperti semula, tapi bisa dipakai untuk menuliskan Dewi yang selalu memberi pelajaran kepada Dewa. Setiap malam, kertas itu diisi dengan pena yang ia punya, untuk menuliskan sebuah cerita yang sangat bermakna bagi dirinya. Dewi tahu itu, bahwa kehidupannya ditulis dalam kertas. Walau kadang Dewa bingung karena ketakutan apa yang ia tulis tak sesuai dengan langkah Dewi. Dan pastinya, Dewa akan sangat berhati-hati karena tulisannya itu ditulis setulus hati.

Ia bercerita pada dirinya. Tentang sebuah perjalanan yang ia lalui bersama Dewi yang selalu ada dalam setiap gerak tubuh, dalam setiap gerik hatinya, sebisa mungkin di atas kertas itu. Walau ada satu tanya dalam hati yang, sebenarnya, ingin ia tuliskan di kertas itu dan berharap Dewi bisa menjawabnya dengan anggukan. Lalu Dewa pasti akan menceritakan kembali anggukan Dewi dengan kata ‘Iya, selamanya’.

 Bandung, 2011