99,57%
kelulusan, itulah hasil yang didapat dari proses pendidikan SMP/MTs
se-Indonesia selama tahun ajaran 2011/2012. Jika
dibandingkan dengan tahun lalu yang memiliki persentase kelulusan 99,45%,
bisa diartikan pendidikan di negeri kita untuk SMP/MTs mengalami peningkatan
sebesar 0,12 % dibandingkan tahun lalu. 47.386 SMP/MTs mengikuti UN dengan
jumlah siswa 3.697.865. Sebuah catatan yang menjanjikan dalam bidang pendidikan
melihat jutaan siswa lulus dari jenjang wajib 9 tahun. Sisa dari itu semua
mengalami nasib yang kurang baik dengan tidak lulus.
Baiklah,
kita kesampingkan dulu lulus dan tidak lulus, walau nanti dalam pembahasannya
akan menyinggung tentang pembahasan ketidaklulusan. Ada hal penting lainnya
yang harus digarisbawahi oleh para pendidik di negeri ini.
Kadang kala karena pemberitaan yang terlalu berlebihan, semua orang lupa akan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Selain target kelulusan yang terus meningkat di setiap tahunnya, sejak beberapa tahun terakhir, pendidikan di Indonesia mendengung-dengungkan tentang tujuan pendidikan yang berpijak pada Pendidikan Karakter di sekolah. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, sejauh mana keberhasilan Pendidikan Karakter itu dapat diukur? Apakah itu bisa diukur dengan keberhasilan kelulusan siswa?
Jawabannya
bisa iya atau tidak. Tetapi rasa-rasanya melihat apa yang terjadi selama ini, Pendidikan Karakter tidak pernah
terbahas manakala kelulusan siswa menjadi pemberitaan utama di berbagai media
atau di sekolah-sekolah pada akhir tahun ajaran. Padahal pendidikan karakter
dijadikan “Pilar Kebangkitan Bangsa” dalam sebuah pidato kenegaraan oleh salah
satu pemilik kebijakan di negeri ini. Sungguh sebuah slogan yang ideal dan
membangun, tapi hanya sebatas slogan tanpa pelaksanaan yang berarti.
Salah satu
butir dari Pendidikan Karakter adalah
“Keadilan”. Apakah keadilan
benar-benar bisa diukur oleh adanya ujian-ujian yang dilaksanakan dalam
pendidikan? Melihat apa yang terjadi setahun ini, di mana dari hasil Ujian
Nasional menempatkan daerah Nusa Tenggara Timur sebagai daerah penyumbang
ketidaklulusan terbanyak dengan jumlah 1906 siswa, diikuti Kalimantan Barat
1402 siswa dan diperingkat terakhir dari puluhan propinsi adalah DKI Jakarta
dengan jumlah 1 siswa.
Sangat
terlihat bagaimana keadilan ini tidak diterapkan, pemerintah sendiri sebagai
pemegang kebijakan tertinggi dalam pendidikan tidak bisa menerapkan Pendidikan Karakter dalam butir Keadilan
ini.
Sebelum
menerapkan pendidikan karakter ini dalam sistem pendidikan. Pemerintah
seharusnya memberi teladan yang baik bagi bangsa ini. Dari satu contoh di atas
saja telah terjadi sebuah kontradiksi yang naas, manakala perbandingan
ketidaklulusan terlihat sangat jomplang dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Pemerintah sebagai pemegang kunci dari sistem pendidikan harus berpikir kembali
berulang-ulang mengenai penerapan Pendidikan
Karakter di Indonesia dan hubungannya dengan kelulusan siswa.
Pemerintah
harus bisa menerapkan dulu sistem yang dibangun dari dirinya, jangan berharap
bisa diterapkan dalam skala yang lebih detail, yaitu seorang siswa. Jika untuk
pemerintah saja, sebagai pemegang hak kebijakan tidak bisa menerapkan
pendidikan karakter itu sendiri. Setelah kebijakan itu bisa dilaksanakan
dilingkungan pemerintah, maka pelaksanaan Pendidikan
Karakter bisa dilaksanakan di sekolah-sekolah. Akhirnya ada sebuah
pertanyaan besar yang menggantung dalam pikiran: berapa siswa dari 99,57% yang
telah lulus dan dianggap berhasil dalam menerapkan Pendidikan Karakter? Wallahua’lam.
Sumber: *Pikiran Rakyat 6 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar